Siapa sangka, hewan kecil yang sering kita temui di tanah basah ini ternyata menyimpan potensi luar biasa bagi kesehatan manusia. Cacing tanah (Lumbricus rubellus), yang selama ini dianggap menjijikkan oleh sebagian orang, justru menjadi bahan herbal bernilai tinggi berkat kandungan antibakteri dan antioksidannya yang kuat. Salah satu manfaat paling menarik dari cacing tanah adalah kemampuannya membantu proses penyembuhan demam tifoid (tipes).
Demam tifoid adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Penyakit ini sering menyerang sistem pencernaan dan umum terjadi di negara tropis, termasuk Indonesia. Selama ini, pengobatan tifoid mengandalkan antibiotik seperti kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol. Namun, munculnya bakteri resisten (MDRST — Multidrug Resistant Salmonella typhi) mendorong para peneliti mencari alternatif alami yang lebih aman.
Ekstrak cacing tanah terbukti mengandung Lumbricin, senyawa antibakteri alami yang efektif menghambat pertumbuhan S. typhi. Zat ini bekerja dengan menekan perkembangan bakteri selama proses penyembuhan, sekaligus membantu menurunkan demam dan peradangan.
Selain Lumbricin, tubuh cacing tanah juga mengandung mikrobiota seperti Streptomyces sp. dan S. erytheus dua jenis bakteri penghasil eritromisin alami, yaitu antibiotik yang juga digunakan secara medis. Kombinasi alami ini memberikan efek sinergis, menjadikan cacing tanah sebagai “pabrik mini antibiotik” dari alam.
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa ekstrak cacing tanah memiliki daya hambat yang signifikan terhadap bakteri S. typhi. Selain itu, kandungan alkaloidnya mampu menekan aktivitas enzim siklooksigenase yang berperan dalam pembentukan agen inflamasi, sehingga mengurangi peradangan di jaringan tubuh.
Tak hanya bersifat antibakteri, cacing tanah juga memiliki efek antioksidan. Dalam studi pada hewan percobaan yang terinfeksi Salmonella typhi, pemberian ekstrak cacing tanah menurunkan kadar biomarker stres oksidatif seperti MDA (Malondialdehyde) dan 8-OHdG (8-hydroxy-deoxyguanosine). Kedua biomarker ini menandakan adanya kerusakan sel akibat radikal bebas dan penurunan nilainya berarti proses pemulihan jaringan sedang berlangsung.
Lebih dari itu, serbuk cacing tanah terbukti dapat memperbaiki kerusakan usus halus, menunjukkan kemampuannya sebagai antiinflamasi alami yang membantu regenerasi jaringan pasca-infeksi.
Menurut data, angka kejadian demam tifoid di Indonesia berkisar antara 358–810 kasus per 100.000 penduduk, dengan angka kematian sekitar 0,6%–5%. Penyakit ini banyak menyerang usia produktif, terutama kelompok usia 5–20 tahun, dan sedikit lebih banyak dialami oleh perempuan.
Di tengah kondisi tersebut, hadirnya terapi pendukung dari bahan alami seperti cacing tanah menjadi harapan baru. Bukan hanya lebih terjangkau, tetapi juga ramah bagi tubuh dan lingkungan. Di sinilah nilai humanis dari pengobatan tradisional muncul ketika alam memberi solusi sederhana untuk penyakit yang kompleks.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah bukan sekadar makhluk kecil di tanah, tetapi mitra besar bagi manusia dalam penyembuhan alami. Kandungan antibakteri, antioksidan, dan antiinflamasinya menjadikannya alternatif herbal yang menjanjikan untuk membantu penyembuhan demam tifoid tanpa efek samping berat.
Dengan riset yang semakin berkembang, mungkin suatu hari nanti cacing tanah tidak lagi dipandang sebelah mata, melainkan dihargai sebagai bagian penting dari warisan pengobatan alami Nusantara.
Sumber Referensi:
Biomed Pharma Journal, Extract of Earthworms (Lumbricus rubellus) Reduced Malondialdehyde and 8-Hydroxy-Deoxyguanosine Level in Male Wistar Rats Infected by Salmonella Typhi.
DOI: 10.33024/mahesa.v4i9.14959Jurnal GK Poltekkes Jayapura, Pengaruh Cacing Tanah Lumbricus rubellus terhadap Pertumbuhan Bakteri S. typhi, S. pullorum, S. epidermidis dan S. agalactiae dengan Beberapa Macam Temperatur dan Konsentrasi.
Link Artikel


